Empat Sumber Hukum Islam yang Telah Disepakati


Fikroh.com - Ketika membahas hukum Islam, kita tidak bisa lepas dari sumber-sumber hukum yang telah disepakati oleh para ulama. Sumber-sumber ini tidak hanya menjadi panduan bagi umat Islam dalam mencari pedoman hidup, tetapi juga harus terverifikasi dan diakui oleh para tokoh agama, cendekiawan, dan ahli fikih agar menjadi kesepakatan yang sah dan diterima secara luas.

Dalam ajaran Islam, terdapat empat sumber hukum yang telah disepakati, yang dikenal sebagai landasan utama dalam menetapkan hukum syariat. Apa saja sumber-sumber tersebut? Berikut penjelasannya:

1. Al-Qur’an


Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan pertama bagi umat Islam di seluruh dunia. Kitab suci ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup dan rujukan hukum yang bersifat mutlak.  

Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an sebagai landasan utama dalam kehidupan. Al-Qur’an memiliki keunikan karena digunakan oleh seluruh umat Islam dengan bahasa yang sama, menjadikannya pedoman universal.  

Firman Allah SWT dalam Surah Al-Isra ayat 88 menegaskan keagungan Al-Qur’an:  

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰٓ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا  

Artinya: “Katakanlah, ‘Sekiranya manusia dan jin bersatu untuk menciptakan sesuatu seperti Al-Qur’an ini, mereka tidak akan mampu membuat yang serupa, meskipun mereka saling membantu satu sama lain.’”  

2. Hadits


Sumber hukum kedua adalah hadits, yaitu perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Muhammad SAW. Hadits menjadi panduan penting bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan syariat dan mencapai keridhaan Allah SWT.  

Hadits berfungsi untuk menjelaskan hal-hal yang belum diuraikan secara rinci dalam Al-Qur’an. Terkadang, umat Islam merasa ragu dalam memahami suatu hukum, dan hadits hadir untuk memberikan penjelasan tambahan agar tidak terjadi salah tafsir.  

Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 32:  

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ  

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’”  

Hadits, seperti ajaran tentang kejujuran, menjadi salah satu ketetapan yang disepakati sebagai pedoman syariat setelah Al-Qur’an.  

3. Ijma


Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum berdasarkan musyawarah dan ijtihad. Hasil dari ijma ini sering disebut sebagai fatwa, yang menjadi rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau hadits.  

Ijma biasanya muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW, ketika umat Islam menghadapi situasi baru yang memerlukan penetapan hukum. Kesepakatan ini diambil melalui musyawarah para ulama yang kompeten.  

Nabi Muhammad SAW bersabda:  

لا تجتمع أمتي على ضلالة 

Artinya: “Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, derajatnya hasan menurut Syaikh Albani)  

Sabda lain dari Nabi SAW juga menyebutkan:  

**فمن رأيتموه فارق الجماعة أو يريد أن يفرق بين أمة محمد صلى الله عليه وسلم، وأمرهم جميع، فاقتلوه كائنا من كان، فإن يد الله مع الجماعة**  

Artinya: “Barang siapa yang kalian lihat meninggalkan jamaah atau ingin memecah belah umat Muhammad SAW, padahal mereka telah sepakat dalam suatu perkara, maka bunuhlah dia siapa pun dia, karena tangan Allah bersama jamaah.” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya, derajatnya sahih menurut Syaikh Albani)  

4. Qiyas


Qiyas adalah metode penetapan hukum dengan cara analogi, digunakan ketika suatu permasalahan belum memiliki ketetapan hukum yang jelas dalam Al-Qur’an, hadits, atau ijma. Qiyas dilakukan dengan membandingkan kasus baru dengan kasus yang sudah ada hukumnya berdasarkan kesamaan illat (sebab hukum).  

Qiyas terbagi menjadi dua jenis utama:  

- Qiyas Illat: Analogi yang jelas berdasarkan perbandingan dua permasalahan dengan illat yang sama. Qiyas illat terdiri dari qiyas jail (jelas) dan qiyas khafi (tersembunyi). Contohnya, larangan mengonsumsi minuman yang memabukkan karena sifatnya yang merusak akal.

- Qiyas Dalalah: Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil illat, dengan menghubungkan hukum pokok dan cabang. Misalnya, segala minuman yang memabukkan dianggap haram, terlepas dari jenis atau baunya, karena illatnya adalah sifat memabukkan.  

Selain itu, terdapat Qiyas Shabah, yaitu analogi berdasarkan keserupaan antara masalah baru dan masalah yang sudah memiliki hukum.  

Landasan qiyas ditemukan dalam Al-Qur’an, Surah An-Nisa ayat 59:  

**يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا**  

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya.”  

Keempat sumber hukum ini—Al-Qur’an, hadits, ijma, dan qiyas—menjadi fondasi yang kokoh bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan sesuai dengan syariat. Dengan memahami dan mengamalkannya, umat Islam dapat menjalankan ibadah dan aktivitas sehari-hari dengan penuh keyakinan dan kebenaran.

Post a Comment

أحدث أقدم