Menjadi Qawwam: Teladan Imam Hasan al-Banna dalam Memimpin Keluarga
Dewasa ini, tidak sedikit lelaki yang merasa kesulitan untuk menjalankan peran sebagai qawwam—pemimpin dan pelindung dalam rumah tangga—karena desakan memenuhi tuntutan material keluarga. Banyak suami bekerja keras, terkadang melebihi batas kemampuan diri, demi mencukupi segala keperluan istri dan anak-anak.
Namun, persoalan ini bukanlah sekadar tentang ekonomi. Akar permasalahan sering kali terletak pada kurangnya pemahaman agama. Ketika setiap anggota keluarga memahami Islam dengan benar, kita akan berhenti saling menyalahkan dan mulai menjalankan peran masing-masing secara seimbang dan harmonis. Pemahaman agama yang kuat menjadikan seseorang jelas dalam tujuan hidup dan tegas dalam menjalankan tanggung jawabnya.
Sosok yang sangat menginspirasi dalam hal ini adalah Imam Hasan al-Banna—seorang ulama, pendakwah, dan pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di tengah padatnya aktivitas dakwah yang beliau jalani, Hasan al-Banna berhasil menyeimbangkan tanggung jawab luar dan dalam rumah. Bagi beliau, keluarga adalah medan dakwah yang pertama dan utama.
Pilar-pilar Kepemimpinan Hasan al-Banna dalam Keluarga
1. Membangun Kehangatan melalui Makan Bersama
Putrinya pernah menceritakan bahwa ayahnya sangat memahami sabda Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, dan keluargamu pun memiliki hak atasmu."
Meskipun sering kali dikunjungi tamu atau memiliki agenda di luar rumah, Imam Hasan al-Banna tetap mengupayakan untuk makan bersama keluarga. Beliau akan mengundang tamu ke rumahnya agar tetap bisa meluangkan waktu dengan istri dan anak-anak. Baginya, menjadi seorang qawwam bukan tentang kehadiran fisik semata, tetapi tentang membangun keterhubungan emosional yang utuh dengan keluarga.
2. Rumah yang Tenang Tanpa Suara Keras
Anak perempuannya, Tsana, mengisahkan bahwa mereka tidak pernah merasakan tekanan atau beban kerja yang dibawa ayahnya ke dalam rumah. Imam Hasan al-Banna tidak pernah meninggikan suara kepada keluarganya, bahkan dalam kondisi lelah sekalipun. Beliau meneladani Rasulullah SAW dalam menciptakan suasana rumah yang penuh kasih dan damai.
3. Mengatur Waktu Khusus untuk Keluarga
Walaupun sibuk, beliau tidak pernah melupakan keluarganya. Setiap liburan, beliau merancang perjalanan dakwah yang sekaligus menjadi momen kebersamaan dengan keluarga. Anaknya, Saiful Islam, mengatakan bahwa dua jam bersama ayahnya terasa sangat bermakna karena kualitas kebersamaan yang diberikan. Ini menunjukkan bahwa yang terpenting bukan durasi, melainkan kualitas keterlibatan emosional dengan anak-anak.
4. Peka terhadap Perkembangan Anak
Hasan al-Banna sangat memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Ia menyusun catatan lengkap dan terperinci berisi:
- Tanggal dan sejarah kelahiran
- Riwayat kesehatan
- Catatan prestasi akademik
- Evaluasi kemajuan dan kelemahan anak
Beliau bukan hanya sebagai ayah, tapi juga sebagai "kepala sekolah" dalam madrasah keluarga, mendampingi anak-anaknya dengan perhatian yang luar biasa.
5. Tidak Pernah Mengabaikan Kebutuhan Keluarga
Dalam kondisi apa pun, beliau tetap memperhatikan kebutuhan anak-anak. Misalnya, ketika putrinya Roja sering kali lupa membawa bekal ke sekolah, Imam Hasan al-Banna sendiri yang memastikan makanan tetap tersedia, meski sedang sangat sibuk. Kepeduliannya tidak pernah berkurang.
6. Memastikan Kecukupan dan Kedermawanan Keluarga
Beliau juga memastikan semua kebutuhan rumah tangga terpenuhi, termasuk uang saku anak-anak yang tidak hanya cukup, tapi juga menjadi sarana pembelajaran. Setiap hari Jumat, beliau memberikan uang kepada anak-anak untuk diinfaqkan. Bahkan, beliau mengamati bagaimana anak-anak membelanjakannya, sebagai bentuk pendidikan tanggung jawab.
7. Memberi Nasihat dengan Penuh Hikmah
Ketika anaknya gemar membaca komik, beliau tidak langsung melarang. Sebaliknya, ia memberikan buku-buku Islam yang lebih bermanfaat. Perlahan, anaknya mulai meninggalkan komik karena merasa tertarik dengan bahan bacaan baru yang lebih bermakna.
Dalam satu kejadian lain, ketika Tsana mewarnai kukunya karena meniru temannya, sang ayah tidak langsung memarahi, melainkan menyampaikan nasihat dengan lembut dan logis. Ia mengaitkan pentingnya kebersihan kuku dengan adab makan dalam Islam, lalu mengajak Tsana membersihkan kukunya bersama.
Kesimpulan
Imam Hasan al-Banna telah membuktikan bahwa menjadi pemimpin keluarga tidak harus mengorbankan kesibukan dakwah, dan sebaliknya, kesibukan dakwah tidak boleh melalaikan tanggung jawab sebagai ayah dan suami. Beliau adalah contoh nyata bahwa dengan memahami agama dan menjadikan Rasulullah sebagai teladan, seorang ayah dapat memainkan peran penting dalam membentuk keluarga yang harmonis, religius, dan penuh kasih sayang.
Semoga teladan ini menginspirasi kita semua untuk memperbaiki akhlak dan memperkuat peranan dalam keluarga—dimulai dari memahami agama dengan benar, hingga menghidupkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.