Fikroh.com - Bagi orang yang sedang bepergian, mana yang lebih utama, berbuka atau tetap berpuasa? Mengenai hal ini, para ulama fikih berbeda pendapat. Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik berpendapat bahwa berpuasa lebih diutamakan bagi orang yang mampu melakukannya, dan berbuka lebih diutamakan bagi orang yang tidak mampu puasa.
Sementara imam Ahmad berpendapat, berbuka lebih utama dari pada tetap berpuasa. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Yang lebih utama adalah yang paling mudah. Bagi orang-orang yang merasa kesulitan mengganti puasa dan baginya akan lebih mudah jika melakukan puasa pada saat itu, maka puasa lebih utama.”
Imam Syaukani membenarkan pendapat ini. Menurutnya, seseorang yang merasa berat untuk berpuasa dan akan berdampak buruk terhadap dirinya, demikian pula orang yang tidak ingin menolak keringanan yang diberikan kepadanya, maka tidak berpuasa lebih utama. Demikian pula dengan orang yang khawatir akan merasa sombong atau bersifat riya’ karena berpuasa ketika dalam perjalanan, maka berbuka lebih utama. Sebaliknya, apabila dengan berpuasa dapat menghilangkan perkara-perkara tersebut di atas, maka berpuasa tentunya lebih utama daripada tidak berpuasa.
Jika seorang yang hendak bepergian berniat puasa di malam hari dan sudah memulai perjalanannya, maka dia tetap dibolehkan untuk tidak berpuasa pada siang harinya. Dari Jabir bin Abdullah ra., bahwasanya Rasulullah saw. pergi ke Mekah pada tahun penaklukan kota Mekah. Beliau berpuasa hingga tiba di Kura’ al-Ghamim' dan orang-orang turut berpuasa bersama beliau. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata, orang-orang merasa berat untuk meneruskan puasa dan mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan. Mendengar itu, Rasulullah meminta secawan air lalu meminumnya. Hal ini beliau lakukan setelah shalat Ashar dan orang-orang menyaksikan apa yang beliau lakukan. Lalu sebagian dari mereka ada yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian yang lain tetap meneruskan puasanya. Begitu Rasulullah melihat sebagian tetap berpuasa, beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang durhaka" (HR Muslim, Nasai, dan Tirmidzi yang menyatakan kesahihannya.)
Jika seseorang berniat puasa ketika masih mukim, lalu mengadakan perjalanan di siang hari, menurut mayoritas ulama, orang itu tidak dibolehkan membatalkan puasa. Tetapi imam Ahmad dan Ishaq membolehkannya berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dan dinyatakan hasan oleh Tirmidzi dari Muhammad bin Kaab, dia berkata, pada bulan Ramadhan, aku mendatangi Anas bin Malik saat hendak mengadakan perjalanan. Kendaraannya sudah disiapkan dan dia pun telah memakai pakaian musafir. Saat itu, dia meminta diambilkan makanan kemudian memakannya. Melihat itu, aku bertanya kepadanya, apakah ini termasuk Sunnah? Dia menjawab, Sunnah. Kemudian dia menaiki kendaraannya.’
Dari Ubaid bin Jubair, dia berkata, pada bulan Ramadhan, aku berlayar dengan menumpang sebuah kapal bersama Abu Bashrah al-Ghifari dari kota Fusthath. Namun kemudian dia menawarkan makan siang dan berkata, mendekatlah kemari. Aku bertanya, bukankah engkau sekarang ini masih di kawasan perumahan? Dia menjawab, apakah engkau tidak menyukai Sunnah Rasulullah saw.?* HR Ahmad, dan Abu Daud, dan perawinya dapat dipercaya.
Syaukani berkata, “Kedua hadits ini menyatakan bahwa orang yang bepergian dibolehkan untuk tidak berpuasa meskipun sebelum meninggalkan tempat kediamannya.” Dia berkata lagi, “Menurut Ibnu Arabi, hadits Anas ini sahih dan hadits ini membolehkan untuk tidak berpuasa meskipun masih dalam keadaan mempersiapkan keberangkatan.” Syaukani berkata, “Inilah pendapat yang benar.”
Perjalanan yang membolehkan untuk tidak berpuasa adalah perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, sedangkan masa bermukim yang dibolehkan bagi seorang yang bepergian untuk tidak berpuasa adalah selama dia dibolehkan mengqashar shalat. Semua masalah ini telah saya uraikan bahasa dalam bab shalat qashar yang juga saya sertakan uraian pendapat-pendapat ulama mengenai dan pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim. Ahmad, Abu Daud, Baihaki, dan ‘Thahawi meriwayatkan dari Manshur al-Kalbi bahwa pada bulan Ramadhan, Dihyah bin Khalifah pergi dari sebuah kampung di daerah Damaskus menuju suatu tempat yang jauhnya kira-kira antara kota Fusthath dengan kota Aqabah. Kemudian dia membatalkan puasa dan orang-orang turut membatalkan puasa bersamanya.
Namun ada sebagian orang yang tidak ingin membatalkan puasanya. Setelah pulang ke kampungnya, Dihyah berkata, demi Allah, pada hari ini aku telah melihat suatu perkara yang menurutku aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Ternyata ada sejumlah orang yang tidak menyukai ajaran Rasulullah saw.. Dia mengatakan, kata-kata ini ditujukan kepada orangorang yang berpuasa ketika dalam perjalanan. Ketika itu dia berkata, ya Allah, wafatkanlah aku untuk menghadap-Mu? Semua perawi hadits ini dapat dipercaya, kecuali Manshur al-Kalbi karena hanya Ijli yang mempercayainya.