1. Memperbaiki bacaan imam
Jika seorang imam terasa ragu dan samar dalam bacaanya, maka makmum yang shalat di belakangnya hendaknya membenarkan bacaan tersebut. Itu dilakukan jika kesamaran imam tersebut dapat menyebabkan perubahan ayat-ayat Al-Qur`an. sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى صَلاَةً فَقَرَأَ فِيهَا فَلُبِسَ عَلَيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لأُبَىٍّ " أَصَلَّيْتَ مَعَنَا؟ ". قَالَ نَعَمْ. قَالَ " فَمَا مَنَعَكَ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suatu saat melaksanakan shalat, lalu beliau membaca –ayat Al-Qur'an– namun ada yang terlupakan. Maka tatkala selesai, Rasulullah bertanya kepada Ubay "Apakah engkau shalat jamaah bersamaku?" Ubay menjawab, "Ya" lantas Rasulullah kembali bertanya, "Lalu apa yang mencegahmu? –sehingga engkau tidak mengingatkanku–." [Hadits Riwayat: Abu Daud (894) dan Ibnu Hibban (1/316 – Ihsan) dengan sanad Jayyid]
Catatan Tambahan:
- Tidak dibolehkan memperbaiki bacaan imam jika imam masih mengulang-ulang bacaanya –untuk mengingat–, karena jika imam teringat dengan sendirinya maka itu lebih utama.
- Tidak dibolehkan memperbaiki bacaan imam jika tidak terdapat keragu-raguan dari imam dalam bacaannya kecuali ia diam terlalu lama. Karena diamnya imam bisa jadi karena ia tengah berfikir tentang ayat apa yang akan ia baca.
- Tidak dibolehkan memperbaiki bacaan imam yang salah bacaannya selama bacaan tersebut tidak mengubah makna aslinya.
Sebagaimana ditegaskan hadits riwayat Ubay bin Ka'b, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنِّي أُقْرِئْتُ الْقُرْآنَ عَلَى ... سَبْعَةَ أَحْرُفٍ لَيْسَ مِنْهَا إِلَّا شَافٍ كَافٍ إِنْ قُلْتَ غَفُورًا رَحِيمًا أَوْ قُلْتَ سَمِيعًا عَلِيمًا أَوْ عَلِيمًا سَمِيعًا فَاللَّهُ كَذَلِكَ مَا لَمْ تَخْتِمْ آيَةَ عَذَابٍ بِرَحْمَةٍ أَوْ آيَةَ رَحْمَةٍ بِعَذَابٍ
"Sesungguhnya aku dibacakan –diajari– Al-Qur`an dengan … tujuh huruf (dialek) yang semuanya benar dan cukup. Jika engkau membaca "Ghafuran Rahiman" (Maha Pengampun dan Maha Penyayang) atau engkau katakan "Sami'an 'Aliman" (Maha Mendengar dan Maha Mengetahui) atau "'Aliman Sami'an" (Maha Mengetahui dan Maha Mendengar) maka benar Allah demikian. Tetapi jangan sekali-kali mengakhiri ayat –yang mengandung makna– adzab dengan ayat rahmat, atau ayat rahmat dengan ayat adzab.” [Hadits Riwayat: Ahmad (20646) dengan sanad Shahih]
2. Mengulang-ulang bacaan ayat dalam shalat sunnah.
Dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ فَرَدَّدَهَا حَتَّى أَصْبَحَ [إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ]
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suatu ketika membaca ayat ini dan mengulang-ulanginya, –ayat tersebut yang artinya– "Jika Engkau menyiksa mereka, Maka Sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, Maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [Al-Qur`an Surat: Al-Maidah: 118, Hadits Riwayat: An-Nasa`i (1010), Ahmad (20831) dan al-Hakim, namun di dalm sanadnya Layyin]
Dan juga riwayat dari Masruq:
أَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ رَدَّدَ هَذِهِ الآيَةَ : [أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَاَلَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ]
“Bahwa Tamim ad-Dari mengulang-ulangi membaca ayat ini –yang artinya– "Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? amat buruklah apa yang mereka sangka itu." [Al-Qur`an Surat: Al-Jatsiyah: 21, Hadits Riwayat: Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/477)]
Demikian juga riwayat Sa'id bin 'Ubaid radhiallahu 'anhuma :
رَأَيْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ وَهُوَ يَؤُمّـُهُمْ فِي رَمَضَانَ يُرَدِّدُ هَذِهِ الآيَةَ : (إِذِ الأَغْلالُ فِي أَعْنَاقِهِمْ) , (يَأَيُّهَا الإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ - الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَك , يُرَدِّدُهَا مَرَّتَيْنِ , أَوْ ثَلاثًا
“Aku melihat Sa'id bin Jubair saat mengimami –shalat tarawih– di bulam Ramadhan, ia mengulang-ulangi dalam membaca ayat ini, –yang artinya– "ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka", "Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah – Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang" Ia mengulangi bacaan ayat tersebut dua atau tiga kali.” [Al-Qur`an Surat: Ghafir: 71 Al-Qur`an Surat: Al-Infithar: 6 & 7, Hadits Riwayat: Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (2/492)]
Penulis berkata: bahwa riwayat-riwayat di atas tidak dinukil dalam shalat fardhu. Oleh karena itu, meninggalkan hal ini dalam shalat fardhu lebih utama. Wallahu A'lam.
3. Menangis dan merintih ketika shalat
Menangis ketika shalat, jika karena takut terhadap Allah Ta'ala atau karena ingat surga dan neraka, serta hal-hal serupa, merupakan perbuatan yang terpuji dan mendapatkan pahala. Dan shalat tidaklah batal sebagaimana sangkaan sebagian orang. Demikian halnya jika tangisan dikarenakan rasa sakit atau musibah yang tak tertahankan, maka tidaklah mengapa.
Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa menangis dalam shalat tidaklah membatalkan shalat tersebut adalah:
Allah Subhanahu wata'ala memuji orang-orang yang menangis dalam firman-Nya:
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّواْ سُجَّداً وَبُكِيّاً
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” [Al-Qur`an Surat: Maryam: 58]
وَيَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'” [Al-Qur`an Surat: Al-Isra': 109]
Hadits riwayat Abdullah bin Syikkhir drama, berkata:
أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم – وَ هُوَ يُصَلِّي , وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ اَلْمِرْجَلِ
“Aku mendatangai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang shalat, dan kudapati di dada beliau terdapat suara seperti suara air yang mendidih –karena menangis–.” [Hadits Riwayat: An-Nasa`i (1214), Abu Daud (1/328), Ahmad (4/25) dan sanadnya Shahih]
Hadits riwayat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhuma :
مَا كَانَ فِينَا فَارِسٌ يَوْمَ بَدْرٍ غَيْرُ الْمِقْدَادِ . وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا فِينَا إِلَّا نَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ شَجَرَةٍ يُصَلِّي وَيَبْكِي حَتَّى أَصْبَحَ
“Tidak ada ahli berkuda di antara kami pada perang Badar kecuali Miqdad. Dan aku telah memperhatikan keadaan kami –pada malam Badar–, semua orang terlelap tidur kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang berada di bawah pohon. Beliau shalat dan menangis hingga waktu shubuh.” [Hadits Riwayat: Ahmad (1026), Ibnu Khuzaimah (2/53) dan sanadnya Shahih]
Hadits riwayat Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma
لَمَّا اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ قِيلَ لَهُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ قَالَتْ عَائِشَةُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ قَالَ مُرُوهُ فَيُصَلِّي فَعَاوَدَتْهُ قَالَ مُرُوهُ فَيُصَلِّي إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ
"Ketika sakit Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam semakin parah, maka disampaikan kepada beliau tentang shalat (siapa yang akan menjadi imamnya). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda "Perintahkan kepada Abu Bakar untuk menjadi imam shalat". Aisyah lalu berkata, "Sesunggunya Abu Bakar adalah seorang lelaki yang mudah luluh hatinya, jika ia membaca (Al-Qur`an) banyak menangis" Rasulullah kembali bersabda, "Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat". Dan Aisyah pun mengulangi perkataannya. Lalu Rasulullah pun bersabda lagi, "Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat, karena sesungguhnya kalian itu seperti shawahib Yusuf (rekan-rekan Nabi Yusuf yang menampakkan perkara namun sebenarnya berbeda dengan apa yang di dalam batin.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (682)]
Umar bin Khattab yang menangis saat shalat, Abdullah bin Syaddad berkata:
سَمِعْتُ نَشِيجَ عُمَرَ، وَأَنَا فِي آخِرِ الصُّفُوفِ يَقْرَأُ : [إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ]
"Ketika aku berada di barisan terakhir, aku mendengar tangisan Umar yang sedang melantunkan ayat: –yang artinya– [Sesungguhnya hanyalah kepada Allah Aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku." [Al-Qur`an Surat: Yusuf: 86, Hadits Riwayat: Al-Bukhari dengan sanad Mu'allaq dalam bab; Adzan. Lih: Fathul-Bari (2/206), dan telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa (22/623) bahwa atsar ini Mahfudz dari Umar]
Catatan Tambahan:
Merintih atau mengaduh seperti "ah", "uh", "uwah" atau "aah" di dalam shalat, tidaklah membatalkan shalat tersebut, hanya saja hukumnya makruh jika tanpa sebab.
4. Meniup saat shalat karena adanya suatu keperluan
Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amru berkata:
انْكَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ... ثُمَّ نَفَخَ فِى آخِرِ سُجُودِهِ فَقَالَ " أُفْ أُفْ ". ثُمَّ قَالَ " رَبِّ أَلَمْ تَعِدْنِى أَنْ لاَ تُعَذِّبَهُمْ وَأَنَا فِيهِمْ أَلَمْ تَعِدْنِى أَنْ لاَ تُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ ؟
"Suatu ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu Rasulullah meniup dalam sujud terakhir dan berkata, "Huf huf" lalu beliau berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menjanjikanku tidak akan menyiksa mereka –umatku– sedangkan aku masih bersama mereka? Bukankah Engkau telah menjanjikanku takkan menyiksa mereka sedangkan mereka masih meminta ampunan –kepada-Mu–?.” [Hadits Riwayat: Abu Daud (1194), An-Nasa`i (3/137), dan Ahmad (2/159)]
Dan juga riwayat ayman bin Nabil
قُلْتُ لِقُدَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمَّارٍ الْكِلَابِيِّ صَاحِبِ - رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - : إِنَّا نَتَأَذَّى بِرِيشِ الْحَمَامِ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ إِذَا سَجَدْنَا، فَقَالَ: " انْفُخُوا
"Aku bertanya kepada Qudamah bin Abdullah bin Ammar al-Kilaby –sahabat Rasul– sesungguhnya ketika sujud, kami merasa terganggu dengan bulu burung merpati yang berada di Masjidil Haram. Lalu Qudamah berkata, "Tiuplah –bulu tersebut–." [Hadits Riwayat: Al-Baihaqi (2/253) dan dinyatakan Shahih oleh Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (3/85)]
5. Berdehem ketika shalat karena suatu keperluan tidaklah di larang.
"Hal tersebut karena yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah berbicara ketika shalat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
إنَّهُ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ
“Tidak dibolehkan ketika shalat berbicara dengan yang lainnya.”
Sedangkan berdehem sama sekali tidak termasuk dalam kategori berbicara. Karena ketika dalam keadaan tersendiri atau bergabung dengan lafadz yang lain tidaklah menunjukkan kepada suatu makna, dan orang yang berdehem tidaklah disebut sebagai orang yang berbicara. Namun berdehem dapat dipahami ketika adanya sebab penguat sehingga bisa disebut sebagai suatu isyarat" [Majmu' al-Fatawa – Ibnu Taimiyah (22/617)]
6. Berbicara sedikit untuk kemaslahatan shalat
Perkataan yang sedikit dari imam maupun makmum yang diucapkan demi kemaslahatan shalat tidaklah membatalkan shalat tersebut, dengan syarat perkataan tersebut tidaklah banyak dan hanya bisa dipahami dengan cara mengucapkannya saja.
Hal ini berlandaskan hadits mengenai cerita Dzul-Yadain yang telah masyhur, yaitu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam shalat Ashar secara berjamaah
فَسَلَّمَ فِى رَكْعَتَيْنِ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ أَقُصِرَتِ الصَّلاَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمْ نَسِيتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ ». فَقَالَ قَدْ كَانَ بَعْضُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النَّاسِ فَقَالَ « أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ ». فَقَالُوا نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَتَمَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا بَقِىَ مِنَ الصَّلاَةِ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ بَعْدَ التَّسْلِيمِ
“Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengakhiri shalat dan salam setelah rakaat kedua. Lalu Dzul Yadain berdiri dan bertanya, "Apakah Shalat ini di qashar wahai Rasulullah, apa engkau tengah lupa?" Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Bukan keduanya" kemudian Dzul Yadain kembali menimpali, "Telah terjadi salah satu di antara kedua hal tersebut –qashar atau lupa– wahai Rasulullah",. Kemudian Rasulullah menghadap kepada jamaah, dan bertanya, "Apakah benar yang diucapkan Dzul Yadain?" lalu mereka menjawab, "Benar wahai Rasulullah". Kemudian Rasulullah kembali menyempurnakan sisa rakaat shalat, lalu beliau melakukan dua kali sujud –sujud sahwi– setelah salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (714), Muslim (573) dan selainnya]
Kesimpulan hukum dari hadits ini adalah, bahwa imam dan makmum saling berbicara –demi kemaslahatan shalat– sebelum mereka menyelesaikan shalat, oleh karena itu apa yang mereka bicarakan masih masuk dalam kategori shalat.
7. Mengucapkan "Alhamdulillah" ketika bersin dalam shalat
Dibolehkan bagi siapa yang bersin ketika shalat untuk mengucapkan "Alhamdulillah" bagi dirinya sendiri. Namun orang lain tidak diperkenankan menjawab "Yarhamukallah" . sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits Rifa'ah bin Malik:
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ، فَقُلْتُ: الحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، مُبَارَكًا عَلَيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ انْصَرَفَ، فَقَالَ: «مَنِ المُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ؟» ... فَقَالَ رِفَاعَةُ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، ... فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا، أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا
"Suatu ketika aku shalat di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, aku bersin, dan berucap "Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan penuh berkah di dalamnya, sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kita". Kemudian setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam usai shalat dan beranjak, beliau bertanya, "Siapa yang tadi berkata ketika shalat?"… lalu Rifa'ah berkata, "Aku wahai Rasulullah"… kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sebanyak tiga puluh Malaikat saling merebutkan siapa di antara mereka yang membawanya naik –ke langit–.” [Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (404), An-Nasa`i (2/245), dan Al-Bukhari (799) namun tidak disebutkan di situ al-Atthas]
Imam Syaukani berkata, "Hal ini menunjukan disyariatkannya mengucap Hamdalah bagi yang bersin meskipun ia sedang shalat… dan hal ini dipertegas oleh keumuman hadits yang menyatakan tentang dibenarkannya hal tersebut, karena di dalamnya tidak ada perbedaan antara ketika shalat maupun di luarnya"
Penulis berkata: bahwa masalah ini juga diperkuat dengan hadits riwayat Muawiyah bin Hakam,
بَيْنَمَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَقُلْتُ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ
"Ketika aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ada seseorang yang bersin, aku lalu berkata "Yarhamukallah." [Hadits Riwayat: Muslim (537) dan Abu Daud (930)]
Dalam hadits tersebut terdapat larangan bagi orang yang shalat –sedangkan ia tidak bersin– untuk menjawab "Yarhamukallah". Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah melarang orang yang bersin untuk mengucapkan Hamdalah. Dengan demikian dalil ini menunjukkan pensyariatan ucapan Hamdalah bagi orang yang bersin meskipun ia sedang shalat.
8. Mengucapkan alhamdulillah ketika shalat karena mendengar sesuatu yang menggembirakan
Sebagaimana dalam hadits riwayat Sahl bin Sa'd yang menceritakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam saat pergi ke Bani Amru bin Auf untuk mengadakan perdamaian di antara mereka. Dan Abu Bakar saat itu shalat –menjadi imam– bersama mereka, lalu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam datang, dan saat itu mereka sedang shalat, Abu Bakar kemudian ingin mundur –dari imam shalat untuk mempersilahkan Rasulullah yang maju–
فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللَّهَ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memberi isyarat kepada Abu Bakar agar dia menetap di tempatnya –sebagai imam shalat– lalu Abu Bakar mengangkat kedua tangannya, memuji Allah –bertahmid–atas apa yang diperintahkan Rasulullah kepadanya.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (684), dan Muslim (431)]
9. Berbicara dengan orang yang sedang shalat dan bertanya kepadanya karena suatu keperluan
Telah diterangkan sebelumnya dalam riwayat Jabir yang diutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menuju Bani Musthaliq, lalu saat ia kembali menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan mengajak bicara beliau yang sedang shalat, namun Rasulullah tidaklah menjawab, dan hanya memberinya isyarat tangan. [Hadits Riwayat: Muslim (540)]
Demikian juga telah disebutkan tentang hadits kisah Asma' Binti Abu Bakar, bahwa ia berkata:
أَتَيْتُ عَائِشَةَ حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِيَ قَائِمَةٌ تُصَلِّي ، فَقُلْتُ : مَا لِلنَّاسِ ؟ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ
"Aku mendatangi Aisyah ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu orang-orang tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri melakukan shalat, aku bertanya: "Kenapa orang-orang ini?" Aisyah lalu mengisyaratkan tangannya ke langit.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1052) dan Muslim (905)]. Wallahu a'lam.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam kondisi darurat atau keadaan yang menuntut kita melakukan gerakan atau ucapan diluar shalat tidaklah membatalkan shalat itu sendiri. Tentu dengan catatan lakukanlah hanya seperlunya saja dan tidak berlebihan.