Fikroh.com - Tebuireng adalah sebuah pedukuhan yang terletak di wilayah Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, sekitar 8 kilometer dari pusat kota Jombang ke arah selatan. Luas pedukuhan ini mencapai 25,311 hektar dan menjadi nama pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim.
Menurut cerita masyarakat, nama Tebuireng berasal dari istilah “kebo ireng” yang berarti kerbau hitam. Dikisahkan, seorang penduduk memiliki kerbau berwarna kuning yang tiba-tiba menghilang. Setelah pencarian, kerbau itu ditemukan terjebak di rawa dan penuh lintah, sehingga warnanya berubah menjadi hitam. Pemiliknya pun berteriak “kebo ireng!” dan sejak saat itu, dusun tersebut dikenal dengan nama itu. Seiring waktu, ketika populasi dusun meningkat, nama Kebo Ireng berganti menjadi Tebuireng. Penyebab pasti perubahan nama ini tidak jelas, tetapi bisa jadi terkait dengan munculnya pabrik gula di daerah tersebut, yang mendorong masyarakat untuk menanam tebu, berpotensi terkait dengan warna hitam dari tanaman tersebut.
Berdirinya Pesantren Tebuireng
Pada akhir abad ke-19, kawasan Tebuireng menyaksikan berdirinya berbagai pabrik, terutama pabrik gula yang dimiliki oleh orang asing. Meskipun secara ekonomi menguntungkan karena membuka lapangan kerja, banyak penduduk yang belum siap menghadapi industrialisasi, menyebabkan mereka tergoda untuk menjalani gaya hidup konsumtif dan terjerumus dalam kebiasaan negatif seperti judi dan minuman keras.
Kondisi ini memprihatinkan Kiai Hasyim, yang kemudian membeli tanah dari seorang dalang terkenal di Tebuireng. Pada 26 Rabiul Awal 1317 H (3 Agustus 1899 M), beliau mendirikan bangunan kecil dari anyaman bambu berukuran 6 x 8 meter, yang dibagi menjadi dua: satu bagian untuk tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian lainnya sebagai mushalla. Santri pertama berjumlah delapan, yang kemudian meningkat menjadi 28 orang dalam waktu singkat.
Namun, kehadiran Kiai Hasyim tidak langsung diterima dengan baik. Ia dan santri sering mengalami gangguan dari kelompok yang menolak keberadaan pesantren. Teror ini berlangsung selama dua setengah tahun, memaksa santri untuk bergiliran menjaga keamanan. Untuk melindungi diri, Kiai Hasyim mengutus santri ke Cirebon untuk belajar pencak silat dari kiai-kiai terkemuka, sehingga para santri menjadi lebih percaya diri.
Dengan ilmu pencak silat, Kiai Hasyim mampu menghadapi ancaman, bahkan beberapa penjahat kemudian meminta untuk dilatih dan menjadi pengikutnya. Beliau juga dikenal sebagai tokoh penting di bidang pertanian dan produktif menulis, sehingga sangat dihormati oleh masyarakat petani. Salah satu momen berkesan terjadi saat anak majikan pabrik gula yang sakit parah sembuh setelah didoakan oleh Kiai Hasyim, semakin mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin dan guru masyarakat.
Luasnya Pengaruh Kiai Hasyim
Seiring meningkatnya pengakuan masyarakat, jumlah santri yang belajar di bawah bimbingan Kiai Hasyim semakin bertambah, mencapai 200 orang pada 1910 dan melonjak menjadi sekitar 2000 pada tahun 1920-an, termasuk santri dari Malaysia dan Singapura. Perluasan pondok dan peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning pun dilakukan.
Kiai Hasyim mendidik santri dengan penuh kesabaran, memfokuskan pada penyelesaian pelajaran agar mereka bisa mendirikan pesantren di daerah masing-masing. Beliau juga aktif mendukung pendirian pesantren oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem dan Darul Ulum.
Pada masa pemerintahan Jepang, sekitar tahun 1942, data menunjukkan bahwa lebih dari 25.000 kiai dan ulama di Jawa pernah belajar di Tebuireng, menandakan pengaruh besar pesantren ini dalam penyebaran Islam. Kiai Hasyim pun dianugerahi gelar “Hadratusy Syeikh” sebagai pengakuan atas kedudukannya.
Kehadiran Kiai Kholil Bangkalan di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian Kiai Hasyim menambah legitimasi beliau sebagai pemimpin spiritual. Selama bulan Ramadhan, banyak kiai dari berbagai daerah datang untuk mengaji, menjadikan Tebuireng pusat keagamaan di Jawa.
Pesantren Tebuireng tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga memainkan peran penting dalam gerakan politik melawan penjajahan, melahirkan partai-partai Islam besar dan laskar perjuangan. Pada awalnya, materi yang diajarkan bersifat keagamaan dengan sistem sorogan dan bandongan, tetapi seiring waktu, sistem pengajaran ditingkatkan dengan kelas musyawaroh dan pendirian Madrasah Nidzamiyah pada tahun 1933, yang juga mencakup pengetahuan umum.
Tebuireng Sekarang
Memasuki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng mengalami perkembangan signifikan dengan menambah berbagai unit pendidikan, termasuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), serta Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Selain itu, terdapat juga Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly, serta berbagai unit pendukung seperti penerbitan buku, koperasi, pengolahan sampah, poliklinik, dan perpustakaan.
Secara geografis, lokasi Pesantren Tebuireng sangat strategis, terletak di tepi jalan raya yang menghubungkan Jombang-Malang dan Jombang-Kediri. Jalur transportasi yang melewati Desa Cukir terbagi menjadi tiga, memudahkan akses kendaraan umum, termasuk mikrolet, bus, dan truk.
Pada awal 1900-an, mayoritas penduduk Tebuireng adalah petani dan pedagang. Kini, banyak yang bekerja sebagai pedagang, pegawai pemerintah dan swasta, serta guru, dengan profesi petani semakin jarang. Rumah-rumah penduduk juga telah mengalami perbaikan, dan hampir semua rumah dilengkapi dengan televisi, komputer, bahkan banyak yang memiliki mobil.
Aktivitas sehari-hari di Dukuh Tebuireng lebih ramai dibandingkan kecamatan Diwek, dengan keberadaan Pabrik Gula Tjoekir, pasar, Puskesmas, kantor pos, serta bank-bank yang menyediakan layanan ATM. Berbagai mini market dan toko kelontong menjadikan kawasan ini selalu hidup dengan aktivitas.
Keberadaan pesantren-pesantren di sekitar Tebuireng semakin memperkaya suasana kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang mengenakan sarung dan peci berlalu-lalang di jalan raya. Saat lebaran, suasana menjadi sepi karena santri pulang ke kampung halaman, menegaskan bahwa keberadaan mereka sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial di Tebuireng.
Pusat Kegiatan Politik
Keberadaan Pesantren Tebuireng berpengaruh besar terhadap perubahan sikap dan kebiasaan masyarakat sekitarnya. Pesantren ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga sebagai pusat kegiatan politik yang aktif melawan penjajahan.
Dari Pesantren Tebuireng, lahir beberapa partai besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Masyumi, dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta laskar-laskar perjuangan seperti Sabilillah dan Hizbullah.
Melahirkan Pahlawan Nasional
Dua tokoh penting dari pesantren ini, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, dianugerahi gelar pahlawan nasional. Keduanya merupakan pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
Salah satu keturunan Kiai Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjabat sebagai presiden keempat Republik Indonesia. Warisan perjuangan dan pengaruh Pesantren Tebuireng terus terasa dalam sejarah politik dan sosial Indonesia hingga saat ini.