Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama Israel telah berhasil menewaskan tokoh-tokoh penting dan berpengaruh dalam peperangan yang meletus sejak Oktober lalu. Ketiga tokoh tersebut adalah Sholih Aruri, Ismail Haniya dan Hassan Nasrallah. Lantas apa peran mereka sehingga Israel begitu berambisi menghabisinya? Berikut profil singkat ketiga tokoh yang paling ditakutin Israel
1. Profil Saleh Al-Arouri
Saleh al-Arouri merupakan sosok penting dalam struktur politik dan militer Hamas. Bergabung sejak 1987, ia berperan dalam mendirikan sayap militer kelompok tersebut di Tepi Barat dan turut membentuk Brigade Izz al-Din al-Qassam.
Pada usia 57 tahun, al-Arouri dikenal sebagai pemimpin de facto militer Hamas di Tepi Barat, seperti dilaporkan media Israel. Dia memiliki kedekatan dengan Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas, dan saat ini tinggal di Lebanon, berfungsi sebagai penghubung antara Hamas dan Hizbullah, milisi di Lebanon.
Al-Arouri juga memiliki hubungan erat dengan Iran dan Hizbullah, serta diduga terlibat dalam penculikan serta pembunuhan tiga remaja Israel di Tepi Barat pada 2014. Ia pernah dipenjara oleh Israel, namun setelah dibebaskan, ia menjadi negosiator yang berhasil melepaskan lebih dari 1.000 tahanan Palestina sebagai bagian dari pertukaran untuk tentara Israel, Gilad Shalit.
Pada 27 Oktober lalu, Israel menghancurkan rumahnya di Arura, dekat Ramallah, sementara dia berada di Lebanon.
Bagaimana Saleh al-Arouri tewas?
Al-Arouri meninggal akibat ledakan di Dahiyeh, Beirut Selatan, yang banyak dipercaya sebagai serangan Israel. Media Lebanon melaporkan bahwa serangan udara Israel menghancurkan kantor Hamas di lokasi tersebut, menewaskan al-Arouri dan enam anggota Hamas lainnya. Seorang saksi menyebutkan melihat petugas pemadam kebakaran dan paramedis di sekitar gedung dengan kerusakan parah di lantai tiga.
2. Biografi Singkat Ismail Haniyeh
Ismail Abdulsalam Ahmed Haniyeh lahir pada 29 Januari 1963, di kamp pengungsi Al-Shati, Jalur Gaza. Ia adalah pemimpin terkemuka gerakan Hamas dan telah menjabat dalam berbagai posisi penting di organisasi tersebut.
Pendidikan dan Awal Karier
Haniyeh menyelesaikan pendidikan menengahnya di Gaza sebelum melanjutkan ke Universitas Islam Gaza, di mana ia memperoleh gelar dalam Sastra Arab pada tahun 1987. Selama kuliah, ia aktif dalam politik dan terlibat dalam gerakan perlawanan Palestina. Setelah lulus, Haniyeh menjadi salah satu pendiri dan pemimpin organisasi mahasiswa di universitas tersebut.
Karier Politik dan Kepemimpinan
Pada tahun 1989, Haniyeh ditangkap oleh otoritas Israel dan menjalani hukuman penjara selama tiga tahun. Setelah dibebaskan, ia kembali aktif dalam kegiatan politik dan menjadi salah satu tokoh kunci Hamas di Gaza. Pada tahun 2006, Haniyeh terpilih sebagai Perdana Menteri Palestina setelah kemenangan Hamas dalam pemilihan legislatif. Sejak saat itu, ia terus memainkan peran sentral dalam politik Palestina dan dalam kepemimpinan Hamas.
Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas, tidak diakui secara luas oleh komunitas internasional akibat ketegangan antara Hamas dan Fatah. Pada tahun 2007, ia dipecat oleh Presiden Mahmoud Abbas, tetapi tetap berkuasa di Gaza. Pada 2017, Haniyeh terpilih sebagai Ketua Biro Politik Hamas, menggantikan Khaled Meshaal, di mana ia berperan penting dalam kebijakan dan hubungan internasional terkait Palestina.
Haniyeh mengalami banyak tragedi pribadi akibat konflik di Gaza, termasuk kehilangan empat belas anggota keluarganya dalam serangan udara Israel pada Oktober 2023, yang meliputi saudara laki-laki dan keponakannya. Selama bulan-bulan berikutnya, ia kehilangan anggota keluarga lainnya, termasuk cucu dan putranya.
Haniyeh meninggal pada 31 Juli 2024, di Teheran, Iran, setelah menghadiri pelantikan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian. Ia tewas akibat serangan rudal yang diduga diluncurkan oleh Israel, menandai akhir dari perjalanan hidup seorang tokoh berpengaruh dalam politik Palestina.
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Haniyeh dan dijadwalkan hadir di pemakamannya sebagai perwakilan Indonesia. Kalla mengenang Haniyeh sebagai pemimpin yang kuat dan menyatakan harapannya agar cita-cita Haniyeh untuk perdamaian di Palestina dapat terwujud meskipun konflik masih berkecamuk.
3. Profil Hassan Nasrallah
Hassan Nasrallah lahir di Beirut, Lebanon pada 31 Agustus 1960. Sebagai seorang pemimpin milisi dan politik, ia telah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Hizbullah sejak 1992.
Menurut Britannica, Nasrallah tumbuh di lingkungan miskin Karantina di Beirut timur, di mana ayahnya memiliki sebuah toko kelontong kecil. Sejak kecil, ia menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam mempelajari Islam.
Setelah perang saudara Lebanon dimulai pada tahun 1975, keluarganya mengungsi ke selatan Beirut. Di sana, Nasrallah bergabung dengan Amal, sebuah kelompok paramiliter Syiah yang memiliki hubungan dengan Iran dan Suriah. Ia kemudian berangkat ke Najaf, Irak, untuk melanjutkan pendidikan di seminari Syiah.
Setelah pengusiran mahasiswa Lebanon dari Irak pada tahun 1978, ia kembali ke Lebanon dan aktif dalam pertempuran bersama Amal, menjadi komandan di lembah Al-Biqa'iyyah. Pasca invasi Israel pada tahun 1982, Nasrallah beralih ke Hizbullah yang baru terbentuk, terinspirasi oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini dan Revolusi Islam 1979.
Di akhir 1980-an, Nasrallah semakin menonjol dalam struktur militer Hizbullah, terutama dalam bentrokan melawan Amal. Melihat potensi kepemimpinannya, ia pergi ke Iran untuk memperdalam pendidikan agama di Qom. Setelah kembali ke Lebanon pada tahun 1989, ia terlibat kembali dalam pertempuran hingga akhir perang saudara. Nasrallah mengambil alih kepemimpinan Hizbullah pada tahun 1992 setelah pendahulunya, Syekh Abbas al-Musawi, tewas dalam serangan rudal Israel.
Rekam Jejak Hassan Nasrallah Pemimpin Hizbullah
Saat menjadi sekretaris jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah tidak memiliki latar belakang akademis yang kuat seperti para pendahulunya, yang telah lama belajar di seminari-seminari agama. Pengangkatannya sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan beberapa anggota organisasi. Namun, ia berhasil mendapatkan dukungan luas dari masyarakat dengan mengembangkan jaringan kesejahteraan sosial yang menyediakan fasilitas seperti sekolah, klinik, dan perumahan di daerah dengan populasi mayoritas Syiah.
Nasrallah memimpin Hizbullah pada masa penarikan Israel dari Lebanon. Meskipun tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas operasi militer, ia memainkan peran penting dalam kampanye propaganda yang meningkatkan dukungan terhadap Hizbullah di kalangan Syiah dan merusak opini publik Israel tentang pendudukannya.
Penarikan tersebut membuat popularitas Nasrallah melambung, baik di Lebanon maupun di dunia Arab. Meski Hizbullah telah berada di parlemen sejak awal 1990-an, prestasi baru ini memberinya modal politik yang lebih besar. Pada Januari 2004, ia mengatur pertukaran tawanan dengan Israel, yang membebaskan lebih dari 400 tahanan Palestina, Lebanon, dan Arab lainnya.
Dalam pemilihan parlemen 2005, setelah penarikan Suriah yang berlangsung hampir tiga dekade, Hizbullah meraih kemenangan signifikan dan memenangkan dua kursi kabinet. Saat situasi di Lebanon berubah, Hizbullah berusaha untuk memposisikan diri sebagai organisasi nasionalis. Nasrallah menegaskan, "Selama ada pejuang yang siap berkorban, negara ini akan tetap aman."
Perang meletus pada Juli 2006 ketika Israel menyerang Lebanon selatan sebagai balasan atas agresi Hizbullah. Selama sebulan, Nasrallah dipuji di dunia Arab atas ketahanan Hizbullah melawan tentara Israel. Dalam pernyataannya setelah perang, ia mengklaim "kemenangan ilahi" dan menolak untuk menyerahkan senjata, memperkuat dukungan terhadap Hizbullah di Lebanon dan sekitarnya.
Setelah perang, Nasrallah membantu membangun kembali rumah warga yang rusak akibat konflik, yang semakin meningkatkan reputasinya. Namun, ia juga menghadapi kritik dari sejumlah politisi Lebanon, sementara pemimpin dunia meragukan aktivitas Hizbullah, terutama setelah kelompok itu mengambil alih sebagian besar wilayah barat Beirut pada Mei 2008.
Setelah pengambilalihan itu, parlemen Lebanon menyetujui pembentukan kabinet persatuan nasional, di mana Hizbullah diberikan sebelas dari tiga puluh kursi dan hak veto. Meskipun kalah dalam pemilihan 2009 dari koalisi pro-Barat, Hizbullah berhasil mempertahankan hak veto dalam kabinet setelah mencapai kesepakatan dengan Perdana Menteri Saad Hariri. Pada Desember 2009, pemerintah mengadopsi undang-undang yang membolehkan Hizbullah untuk tetap mempertahankan senjatanya.
Tags:
Biografi Muslim