Hukum Bersuci Menggunakan Tisu Basah

Hukum Bersuci Menggunakan Tisu Basah

Fikroh.com - Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan apabila terdapat pada pakaian, badan dan tempat. Membersihkan najis sangatlah mudah dengan berbagai alat bersuci yang diperbolehkan oleh syariat seperti air, debu, batu dll. 

Menurut Ibnu Taimiyah, najis jika wujud najis hilang dengan cara apapun, maka najis tersebut sudah dihukumi menghilang. Hukum ada karena wujud illat. Maka, ketika illat tersebut hilang, maka hilanglah hukum najisnya. Jika seseorang sudah membersihkan badan atau benda dari najis, maka badan atau barang tersebut dihukumi suci. Karena keadaan di dalam pesawat yang tidak memungkinkan membersihkan najis dengan mengguyurkan air, maka menggunakan tisu basah ini dapat menjadi alternatif.

Istinja’ menggunakan air dianggap lebih utama karena air lebih efektif untuk menghilangkan najis. Akan tetapi, ulama menyepakati bahwa istijmar (membersihkan najis menggunakan selain air) juga sah, baik dalam keadaan air yang cukup. Dalam riwayatnya Abi Hurairah, Nabi Muhammad pernah bersabda,

“Barangsiapa yang melakukan wudhu, sempurnakanlah. Barangsiapa yang melakukan istijmar, hendaknya dia mengganjilkan bilangan(sesuatu yang dipakai istijmar). (HR. Bukhori Muslim)

Dikuatkan lagi dengan pendapat Ibnu Qoyyim yang menjelaskan bahwa para ulama memperbolehkan istijmar dengan batu atau tisu baik di musim kemarau ataupun hujan.

Salman al-Farisi menambahkan bahwa rasulullah melarang kita melakukan istijmar kurang dari 3 usapan batu.

Anas bin Malik Ra berkata, ketika Nabi Muhammad memasuki kamar mandi, maka ia dan anak laki-lakinya (Anas bin Malik) membawakan wadah yang berisikan air untuk bersuci.

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa jika bersuci dengan air itu lebih utama daripada istijmar (bersuci dengan batu atau tisu). Akan tetapi, jika ingin meringkas dengan istijmar saja itu sudah cukup dan dianggap sah. Wallahu a’lam bisshowab.

Bersuci Dengan Tisu Menurut Madzhab Syafi'i 


Menurut kitab Bughyat al- Mustarsyidin halaman 44, karya Sayyid Abdurrahman Ba’alawi al-Hadromi (lahir 1834 M) bahwa istinja’ menggunakan kertas putih itu diperbolehkan:

يجوز الإستنجاء بأوراق البياض الخالي عن ذكر الله تعالى كما في الإيعاب

Artinya: Diperbolehkan beristinja’ memakai kertas putih yang tidak terdapat tulisan yang menyebutkan nama Allah, sebagaimana keterangan kitab Al-I’ab. 

Kertas putih yang dimaksud bisa dianalogikan sebagai tisu, sebab tisu toilet berbentuk rol (gulungan) pertama ditemukan oleh Joseph Gayelty pada tahun 1857 M, yang kemudian dikembangkan pada tahun 1880 M oleh British Perforated Paper Company. Tisu memiliki sifat seperti batu yang mampu menghilangkan kotoran, dan harus memenuhi beberapa syarat, agar istinja’ dianggap sah. 

Dalam kitab Safinatun Naja, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menyebutkan 8 (delapan) syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak beristinja hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan:

 شروط اجزاء الحجر ثمانية: أن يكون بثلاثة أحجار وأن ينقي المحل وألا يجف النجس ولا ينتقل ولا يطرأ عليه أخر ولا يجاوز صفحته وحشفته ولا يصيبه ماء وأن تكون الأحجار طاهرة 

Artinya: Syarat beristinja dengan menggunakan batu ada delapan, yakni (1) dengan menggunakan tiga buah batu (2) batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis (3) najisnya belum kering (4) najisnya belum pindah (5) najisnya tidak terkena barang najis yang lain (6) najisnya tidak melampaui shafhah dan hasyafah (7) najisnya tidak terkena air (8) batunya suci.”(lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najaa, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).

Delapan syarat itu jika dioperasionalkan dan diringkas dalam tisu, maka ada beberapa hal yang patut diperhatikan ketika istinja menggunakan tisu, di antaranya:

1. Sediakan tiga tisu suci kering dan dilipat segi tiga;
2. Tisu mampu membersihkan kotoran/ najis hingga benar-benar bersih suci;
3. Najis atau kotorannya tidak kering (masih basah);
4. Najis atau kotorannya tidak pindah;
5. Najis atau kotorannya tidak terkena najis yang lain;
6. Najis atau kotorannya tidak mengotori area samping sekitar lobang dubur (biasanya seperti kasus mencret);
7. Najis atau kotorannya tidak terkena air.

Dengan demikian, bagi mereka yang menggunakan tisu sebagai media untuk membersihkan najis itu diperbolehkan asalkan memenuhi syarat yang telah disebutkan di atas. Satu tambahan lagi, tisu bekas membersihkan najis wajib dibuang ke tempat sampah, bukan dibuang sembarangan, agar tidak mengenai orang lain.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama