Fikroh.com - Mensucikan najis yang menempel pada tubuh, pakaian dan tempat harus dilakukan secara benar sebelum mengerjakan shalat. Baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Hal itu dikarenakan sucinya pakaian, tubuh dan tempat merupakan syarat sahnya shalat. Bagaimanakah cara mensucikan badan, pakaian dan tempat yang terkena najis? Simak penjelasan selengkapnya dibawah ini.
1. Menyucikan Badan dan Pakaian dari Najis
Jika ada najis mengenai pakaian atau badan, hendaknya dicuci dengan air sampai najisnya hilang. Jika najis tersebut dapat dilihat, seperti darah, dicuci sampai bersih. Namun apabila setelah dicuci tetap masih ada bekas, atau sulit dihilangkan, maka kondisi seperti itu dimaafkan. Jika najis tidak dapat dilihat seperti air kencing, maka cukup dengan mencucinya, meskipun hanya sekali cucian. Dalilnya hadits Asma' binti Abu Bakar ia berkata, “Salah seorang perempuan datang menemui Rasulullah dan berkata, 'Salah seorang di antara kami bajunya terkena darah haid, apa yang mesti dilakukan? Beliau menjawab, 'Hendaknya kamu mengerik bekas darah tersebut, kemudian menggosoknya, lalu membasuhnya dengan air. Setelah itu, pakaian tersebut dapat digunakan untuk shalat!" (Muttafaq 'Alaih).Jika najis tersebut terkena pada bagian ujung bawah pakaian seorang perempuan, maka ia menjadi suci dengan menyentuh tanah. Dalilnya adalah hadits berikut, “Seorang perempuan bertanya kepada Ummu Salamah, 'Pakainku sangat panjang sehingga ujungnya menyentuh tanah, dan aku berjalan di tempat yang kotor? Ummu Salamah berkata kepadanya, bahwa Rasulullah pernah bersabda, Tanah sesudahnya akan mensucikannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Abu Dawud)
2. Menyucikan Tanah
Cara menyucikan tanah jika terkena najis adalah dengan cara menyiramkan air di atas tanah itu. Dalilnya adalah sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, “Seorang Arab Badui berdiri lalu kencing dalam masjid. Para sahabat bangkit untuk menertibkan orang itu. Melihat hal tersebut, Rasulullah bersabda, “Biarkan dia! Siramlah kencingnya itu dengan satu timba air. Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk mendatangkan kesulitan.” (HR. Al-Jamaah, kecuali Muslim). Tanah yang terkena najis juga akan suci dengan sendirinya apabila telah kering, demikian juga benda-benda yang berada di sekelilingnya, seperti pohon dan bangunan. Abu Oilabah berkata, “Keringnya tanah, menjadikannya suci.”
Aisyah berkata, “Tanah (yang terkena najis) akan menjadi suci bila sudah kering.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Hal ini berlaku apabila benda najis yang mengenainya berupa cairan. Tetapi, jika benda najis yang mengenainya telah membeku (membekas), maka cara untuk menyucikannya adalah dengan membuang najis yang menempel padanya.
3. Membersihkan Mentega dan Sejenisnya
Dari Ibnu Abbas, dari Maimunah ia berkata, Rasulullah pernah ditanya mengenai tikus yang terjatuh ke dalam mentega. Beliau menjawab, "Buanglah tikus itu dan bagian yang berada di sekitarnya. Setelah itu, makanlah mentega kalian.” (HR. Al-Bukhari).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Menurut Ibnu Abdil Barr, para ulama sepakat bahwa apabila bangkai masuk ke dalam makanan yang beku, maka buanglah bangkai itu dan yang di sekelilingnya. Jika telah jelas (bangkai itu) mengenai sebagian dari benda tersebut, hal itu tidak boleh dikaitkan dengan bagian lain (yang tidak terkena bangkai).
Jika bangkai masuk ke dalam makanan berbentuk cair, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas mereka berpendapat bahwa makanan itu najis semuanya, karena telah terjadi persentuhan dengan benda najis (bangkai). Akan tetapi sebagian ulama seperti Az-Zuhri dan Al-Auza'i berpendapat berbeda (mereka berdua tidak menganggap semua makanan cair itu menjadi najis).
4. Menyucikan Kulit Bangkai dengan cara Disamak
Disamak, maksudnya kulit binatang yang masih basah diolah sedemikian rupa, sehingga menjadi kering, awet, dan dapat dijadikan bahan baku pembuatan barang-barang. Produknya bisa berupa sepatu, sandal, kantong air, tas, pelana kuda, aksesoris, tempat duduk, dil. Barang-barang terbuat dari kulit asli biasanya diberi label original leather.
Kulit bangkai binatang, baik bagian luar maupun dalamnya, dapat disucikan dengan cara disamak.' Hal ini berdasarkan pada hadits Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah bersabda, “Jika kulit (bangkai) telah disamak, maka ia menjadi suci.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Cara menyucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca, bejana yang mengkilat dan setiap kepingan licin adalah dengan cara mengusapnya, sehingga bekas najis yang menempel padanya hilang. Para sahabat pernah mengerjakan shalat sambil membawa pedang yang terkena darah dalam peperangan. Mereka mengusap mata pedang dan cara tersebut mereka anggap sudah cukup untuk menyucikannya.
Cara menyucikan sandal atau sepatu yang terkena najis adalah dengan menggosokkannya ke tanah sampai bekas najis yang menempel padanya hilang. Dalilnya adalah sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah yang dipijak dapat menyucikannya.” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika seseorang menginjak kotoran dengan kedua sepatunya, maka tanahlah yang akan menyucikan keduanya.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih AlJami).
Juga hadits yang bersumber dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, hendaknya ia membalikkan kedua sandalnya dan memperhatikan bagian telapaknya. Jika terdapat kotoran, hendaknya menggosokannya ke tanah, kemudian ia dibolehkan memakainya untuk shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Berikut ini adalah perkara-perkara yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan bab thaharah. Sebagian masalah itu kadang menimbulkan keraguan dalam hati sehingga menjadi beban kegelisahan.
1. Jika tali yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian terkena najis, kemudian ia kering disebabkan sinar matahari atau tiupan angin, maka tali tersebut dapat digunakan untuk menjemur pakaian suci yang lain sampai kering. (Jadi tali itu tidak perlu dicuci atau disiram air lagi. Biarkan saja ia kering sendiri).
2. Jika seseorang terkena suatu cairan yang tidak jelas statusnya, apakah ia termasuk air suci atau najis, maka dia tidak perlu menanyakan benda apa saja yang telah mengenai cairan tersebut. (Kita cukup berprasangka baik bahwa cairan itu suci dan tidak ada najis yang masuk ke dalamnya). Tapi, jika ia tetap ingin mengetahui hakikat cairan itu dengan bertanya (ke seseorang), maka orang yang ditanya tidak wajib menjawab, meskipun dia tahu bahwa ada benda najis yang masuk ke cairan itu. (Dalil untuk bersikap demikian, adalah sikap Umar bin Khatthab yang melarang seseorang memberitahu hakikat suatu air yang mereka gunakan untuk berwudhu). Di samping itu, orang yang bertanya tersebut tidak wajib membasuh cairan yang mengenai dirinya.
5. Menyucikan Cermin dan Sejenisnya
Cara menyucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca, bejana yang mengkilat dan setiap kepingan licin adalah dengan cara mengusapnya, sehingga bekas najis yang menempel padanya hilang. Para sahabat pernah mengerjakan shalat sambil membawa pedang yang terkena darah dalam peperangan. Mereka mengusap mata pedang dan cara tersebut mereka anggap sudah cukup untuk menyucikannya.
6. Menyucikan Sandal
Cara menyucikan sandal atau sepatu yang terkena najis adalah dengan menggosokkannya ke tanah sampai bekas najis yang menempel padanya hilang. Dalilnya adalah sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah yang dipijak dapat menyucikannya.” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika seseorang menginjak kotoran dengan kedua sepatunya, maka tanahlah yang akan menyucikan keduanya.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih AlJami).
Juga hadits yang bersumber dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, hendaknya ia membalikkan kedua sandalnya dan memperhatikan bagian telapaknya. Jika terdapat kotoran, hendaknya menggosokannya ke tanah, kemudian ia dibolehkan memakainya untuk shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Berbagai Perkara Bersuci yang Sering Dijumpai dalam Kehidupan Sehari-hari
Berikut ini adalah perkara-perkara yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan bab thaharah. Sebagian masalah itu kadang menimbulkan keraguan dalam hati sehingga menjadi beban kegelisahan.
1. Jika tali yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian terkena najis, kemudian ia kering disebabkan sinar matahari atau tiupan angin, maka tali tersebut dapat digunakan untuk menjemur pakaian suci yang lain sampai kering. (Jadi tali itu tidak perlu dicuci atau disiram air lagi. Biarkan saja ia kering sendiri).
2. Jika seseorang terkena suatu cairan yang tidak jelas statusnya, apakah ia termasuk air suci atau najis, maka dia tidak perlu menanyakan benda apa saja yang telah mengenai cairan tersebut. (Kita cukup berprasangka baik bahwa cairan itu suci dan tidak ada najis yang masuk ke dalamnya). Tapi, jika ia tetap ingin mengetahui hakikat cairan itu dengan bertanya (ke seseorang), maka orang yang ditanya tidak wajib menjawab, meskipun dia tahu bahwa ada benda najis yang masuk ke cairan itu. (Dalil untuk bersikap demikian, adalah sikap Umar bin Khatthab yang melarang seseorang memberitahu hakikat suatu air yang mereka gunakan untuk berwudhu). Di samping itu, orang yang bertanya tersebut tidak wajib membasuh cairan yang mengenai dirinya.
3. Jika kaki atau ujung pakaian terkena suatu benda basah di malam hari, dengan tidak diketahui hakikat benda basah itu, maka tidak diwajibkan memastikan benda tersebut, baik dengan cara mencium, meraba, atau lainnya.
4. Tidak wajib mencuci sesuatu yang terkena tanah yang ada dijalanan.
Kata “tidak wajib" bukan berarti tidak perlu. Kita tetap dianjurkan mencuci badan, pakaian, atau barang yang terkena tanah dengan tujuan menjaga kesehatan atau membersihkan kotoran yang tidak enak dipandang. Selain alasan higienis, juga estetik. Dari Abu Malik AlAsy'ari, bahwa Rasulullah bersabda, “Ath-Thuhuru syathrul iman” (bersuci itu merupakan sebagian iman). (HR. Muslim).
5. Jika seseorang telah mengerjakan shalat, tiba-tiba terlihat najis pada pakaian atau bagian badan yang sebelumnya tidak diketahui, atau telah mengetahui tapi lupa membersihkannya, atau pun tidak lupa tapi tidak sanggup menghilangkan najis itu, maka shalatnya tetap dianggap sah dan ia tidak perlu mengulangi shalatnya. Landasan atas hal ini adalah firman Allah.
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu bersalah (karena ketidak sengaja).” (Al-Ahzab: 5).
6. Seseorang yang tidak mengetahui letak najis di pakaiannya, ia diwajibkan mencuci semua pakaiannya. Sebab, tidak ada cara lain untuk menghilangkan najis tersebut melainkan dengan cara mencuci keseluruhan pakaian itu. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan,
5. Jika seseorang telah mengerjakan shalat, tiba-tiba terlihat najis pada pakaian atau bagian badan yang sebelumnya tidak diketahui, atau telah mengetahui tapi lupa membersihkannya, atau pun tidak lupa tapi tidak sanggup menghilangkan najis itu, maka shalatnya tetap dianggap sah dan ia tidak perlu mengulangi shalatnya. Landasan atas hal ini adalah firman Allah.
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu bersalah (karena ketidak sengaja).” (Al-Ahzab: 5).
6. Seseorang yang tidak mengetahui letak najis di pakaiannya, ia diwajibkan mencuci semua pakaiannya. Sebab, tidak ada cara lain untuk menghilangkan najis tersebut melainkan dengan cara mencuci keseluruhan pakaian itu. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan,
Tags:
Fikih