Fikroh.com - Pada asalnya shalat wajib 5 waktu itu dikerjakan pada masing-masing waktunya, sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh syariat mengenai awal dan akhir dari Masing-masing shalat tersebut. Namun dalam kondisi tertentu syariat memberikan keringanan untuk menggabungkan antara shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya, baik dikerjakan pada waktu shalat yang pertama, yang dikenal dengan istilah jamak Taqdim maupun pada waktu shalat yang kedua, yang biasa disebut jamak Ta'khir.
Ada beberapa penyebab seseorang diberikan rukhshah (keringanan) untuk menjamak shalat, semisal sedang Safar, hujan dan selainnya. Ada satu sebab yang para ulama masih berbeda pandangan apakah itu bisa menjadi sebab mendapatkan rukhshah jamak atau tidak?
Salah satu penyebab utama perbedaan pandangan para ulama terkait hal ini adalah hasil interpretasi mereka terhadap hadis Shahabi Jalîl Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang menceritakan :
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
"Rasulullah ﷺ pernah salat Zuhur dan Asar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena safar." (HR. Muslim no. 1147 via EH)
Hadis ini sangat jelas mengisyaratkan penjamakan shalat pada waktu Beliau ﷺ sedang tidak safar alias Mukim, oleh karenanya dalam Shahih Muslim diberikan judul bab untuk hadis ini :
باب الجمع بين الصلاتين في الحضر
"Bab menjamak shalat dalam posisi hadir (tidak sedang Safar)."
Yang menarik disini adalah alasan yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu terkait jamak dalam kondisi hadir ini adalah bukan karena terkait Safar dan takut, baik takut cuaca ekstrim, peperangan atau yang semisalnya, bahkan dalam riwayat "Musnad Ahmad" (No. 3152 via EH) dengan sanad yang dishahihkan oleh Syu'aib Arnauth, disebutkan:
مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
"bukan karena takut dan tidak pula hujan."
Artinya sebab dari penjamakan yang diceritakan di atas adalah bukan karena sebab-sebab yang sudah umum diketahui mengenai rukhshah yang bisa diambil untuk menjamak shalat. Dari sinilah muncul Mazhab atau pandangan sebagian ulama yang menyebutkan sebab lain dari bolehnya menjamak, yaitu karena adanya suatu KEPERLUAN. Al-‘Allamah Abu Bakar al-Husainiy rahimahullah - dari kalangan Mazhab Syafi'i - dalam kitabnya “Kifaayah al-Akhyar” (hal. 140-141) berkata:
بل ذهب جمَاعَة من الْعلمَاء إِلَى جَوَاز الْجمع فِي الْحَضَر للْحَاجة لمن لَا يَتَّخِذهُ عَادَة وَبِه قَالَ أَبُو إِسْحَاق الْمروزِي وَنَقله عَن الْقفال وَحَكَاهُ الْخطابِيّ عَن جمَاعَة من أَصْحَاب الحَدِيث وَاخْتَارَهُ ابْن الْمُنْذر من أَصْحَابنَا وَبِه قَالَ أَشهب من أَصْحَاب مَالك وَهُوَ قَول ابْن سِرين
“bahkan sebagian ulama berpendapat bolehnya menjamak shalat pada waktu hadir (tidak sedang bepergian) karena adanya suatu KEPERLUAN selama hal tersebut TIDAK dijadikan KEBIASAAN. Ini adalah pendapatnya Abu Ishaq al-Marwaziy, sebagaimana dinukil dari al-Qaffâl dan al-Khathâbiy menceritakan pendapat ini dari sejumlah ulama hadits dan menjadi pilihan pendapatnya Ibnul Mundzir dari kalangan madzhab kami, juga menjadi pendapatnya Asyhab dari kalangan Malikiyyah serta ini adalah pendapatnya Ibnu Siriin." -selesai-.
Tentunya keperluan seseorang itu berbeda satu sama lainnya, dimana yang ini ada kesulitan ketika menjalankan keperluan tersebut, sedangkan bagi yang lain tidak. Hal ini telah diisyaratkan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya "ash-Shahihah" (6/817) tatkala membahas hadis yang kita angkat dalam bab ini, kata beliau:
أنه إنما يجوز الجمع حيث كان الحرج، وإلا فلا، وهذا يختلف باختلاف الأفراد وظروفهم
"diperbolehkan menjamak tatkala ada kesulitan disana, kalau tidak ada, maka tidak boleh dan ini tentunya berbeda tergantung pribadi dan kondisi tertentu."
Kemudian ada satu syarat terpenting yang perlu diperhatikan ketika mengambil rukhshah jamak karena ada keperluan, bahwa hal itu TIDAK dijadikan kebiasaan rutin. Para ulama, diantaranya al-Imam al-Albani rahimahullah telah mewanti-wanti hal ini, sebagaimana kelanjutan pernyataan beliau dalam kitab yang kami nukil sebelumnya:
ولعل القائلين بجوازه مطلقا من السلف أشاروا إلى ما ذكرته حين اشترطوا أن لا يتخذ ذلك عادة كما تفعل الشيعة
Oleh sebab itu, para ulama salaf yang membolehkan jamak secara mutlak, mereka mengisyaratkannya kepada apa yang telah disebutkan yakni mempersyaratkan hal tersebut bukan sebagai KEBIASAANNYA, sebagaimana yang dilakukan orang Syi’ah.” –selesai-.
Adapun terkait dengan kasus seseorang ketika melangsungkan pesta pernikahannya, dimana boleh jadi ada kesulitan yang dialami oleh mempelai yang sedang menikah, jika ia harus shalat pada waktunya, maka sebagian ulama memberikan pandangan ini bisa masuk dalam kategori alasan diperbolehkan menjamak shalat yaitu jamak karena ada keperluan dan tentunya acara pesta pernikahan ini bukanlah sesuatu yang menjadi kebiasaan seseorang, dalam artian bisa jadi ini adalah momen satu kali saja dalam seumur hidupnya atau kalau pun beberapa kali menikah, tidak bisa dikatakan menjadikan hal ini sebagai kebiasaan.
Diantara ulama yang memperbolehkan untuk menjamak shalat adalah DR. Muhamad Abdus Sami' -penanggung jawab dewan fatwa Mesir - yang memberikan fatwa:
إنه يجوز للعروس جمع الصلاة في ليلة الزفاف، بأن تجمع الصلاة مثلًا المغرب مع العشاء جمع تأخير إذا كانت لا تستطيع أن تؤدي كل صلاة في وقتها.
"Boleh bagi mempelai yang mengadakan pesta pernikahan pada malam pesta misalnya, untuk menjamak shalat Maghrib dengan Isya dengan jamak ta'khir misalnya, jika ia tidak mampu menunaikan shalat pada waktunya masing-masing." -selesai-.
Jawaban lebih lengkap diberikan oleh Tim Islamweb yang mengkaitkan hal ini sebagai salah satu pendapat dalam Mazhab Hanbali, mereka berkata:
فإن حصلت لها مشقة معتبرة في الإتيان بكل صلاة في وقتها فيجوز لها الجمع بين الظهر والعصر في وقت إحداهما، وبين المغرب والعشاء في وقت إحداهما تقديما أو تأخيراً بحسب الحاجة عند من يجيزون الجمع بين الصلاتين للحاجة والمشقة كالحنابلة
"Jika ada kesulitan (bagi mempelai) untuk mengerjakan shalat pada waktunya, maka BOLEH baginya menjamak shalat antara zhuhur dengan Ashar pada waktu salah satunya, begitu juga Maghrib dan Isya pada salah satu waktunya, baik jamak taqdim maupun ta'khir, sesuai dengan keperluannya, menurut para ulama yang membolehkan menjamak shalat karena adanya keperluan, sebagaimana mazhabnya Hanabilah." -selesai-.
Wallahu A'lâm.
Oleh: Abu Sa'id ath-Thighali
Tags:
Fikih