Fikroh.com - Dewasa ini, pemahaman “sunnah”, kembali kepada Al-Qur’an dan hadits di atas pemahaman salafus shalih semakin diterima oleh banyak orang. Di berbagai daerah di Indonesia, baik perkotaan maupun pedesaan. Hal ini ditandai dengan semakin banyak jumlah kajian yang dibuka, dan jumlah hadirin yang datang. Begitu juga nampak sekali perkembangannya dengan munculnya sekolah-sekolah dengan label “sunnah”, sebagai alternatif dari sekolah yang sudah ada saat ini. Mengapa kemunculan sekolah “sunnah” terlepas dari pro dan kontra penamaannya, menjadi indikator bagi perkembangan pemahaman sunnah? Jawabnya karena pendidikan merupakan tonggak suatu peradaban yang sedang dibangun.
Bertaburnya sekolah-sekolah “sunnah” ini merupakan suatu nikmat yang patut untuk disyukuri dan diapresiasi, bahkan perlu untuk didukung untuk terus berkembang, agar menjadi lebih baik dibandingkan yang sudah berjalan saat ini. Namun, tidak ada gading yang tak retak. Munculnya sekolah-sekolah “sunnah” juga dibarengi dengan munculnya berbagai problematika di dalamnya.
Berbagai problematikan itu saya dapati dari pengalaman bekerja di sekolah “sunnah”, baik sebagai fungsional atau struktural, selain itu juga berasal dari penuturan rekan-rekan sesama pengajar, dan hasil diskusi dalam grup pendidikan Islam. Tentu saja tulisan ini sarat dengan subyektifitas penulis, hanya menyorot secara parsial saja sesuai apa yang penulis dapatkan, dan tidak mencakup secara keseluruhan fenomena yang ada.
Berbagai problematika yang terjadi pada sekolah-sekolah “sunnah” dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Gagap Menentukan Core Pendidikan yang Dijalankan
Kebanyakan sekolah “sunnah” dibangun atas azas semangat kebersamaan, dakwah, dan sekadar penyediaan sarana pendidikan bagi anak-anak jama’ah yang sudah ‘ngaji’. Sehingga sekolah yang didirikan hanya menyeseuaikan jenjang yang dibutuhkan pada saat itu. Ketika banyak anak seusia SD maka didirikanlah Sekolah Dasar, juga ketika banyak anak-anak jama’ah pengajian lulus SD maka didirikanlah SMP. Ketika ditanya untuk apa sekolah ini didirikan, maka jawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Memang tidak salah, akan tetapi Al-Qur’an dan sunnah merupakan landasan dalam pendidikan. Yang dimaukan adalah inti penyelenggaraan pendidikan yang diturunkan dari Al-Qur’an dan sunnah.
Sekolah harus memiliki core atau inti yang dibidik dalam penyelenggaraan pendidikannya. Agar perjalanan sekolah terarah di masa depannya. Core itulah yang menjadi target utama dan keunggulan sekolah. Harus dicapai dan diketahui oleh semua yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah. Contoh core sekolah di antaranya adalah tahfidz Al-Qur’an, atau pendidikan karakter, atau penguasaan sains yang terintegrasi dengan agama, atau penguasaan bahasa asing (Arab, Inggris, dll), atau pendidikan model ulama klasik, atau yang lainnya.
Realita yang terjadi kebanyakan sekolah-sekolah “sunnah” menjadi asal jalan. Asal ada kegiatan belajar mengajar, yang berisikan pelajaran keagamaan, sedikit pelajaran umum, ada hafalan Al-Qur’an, ada raport dan kenaikan kelas, maka dianggap cukup.
2. Tidak Memilih Jalur Pendidikan yang Tepat
Pemerintah Indonesia membuka jalan selebar-lebarnya bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan. Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 jalur pendidikan di Indonesia terbagi atas : pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.[1]
Setelah menentukan core yang dibidik oleh sekolah, selayaknya sekolah menyesuaikan jalur pendidikan yang akan dipakainya, demi mencapai tujuan-tujuan dan core pendidikan yang telah dicanangkan. Namun sebagian sekolah “sunnah” tidak memperhatikan ini dengan baik, sehingga antara tujuan sekolah dengan jalur pendidikannya sering tidak sinkron. Misalnya ada sekolah yang menekankan pada tahfidz Al-Qur’an pada tingkat sekolah menengah, dengan target 15 juz, namun lembaga tersebut menginduk pada sekolah formal yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan. Maka yang terjadi hanya satu atau dua murid saja yang dapat mencapai target hafalan, yang lain terbebani dengan banyaknya mata pelajaran, khas sekolah yang menginduk kepada Dinas Pendidikan.
Sebaiknya jika ingin menekankan pada target hafalan Al-Qur’an, memilih jalur pendidikan nonformal saja yang tidak memiliki banyak beban mata pelajaran. Efek negatif dari salah pemilihan ini adalah terkadang sekolah main kucing-kucingan ketika tidak mengajarkan mata pelajaran tertentu, atau malah terjatuh dalam permainan mengatrol atau mengarang nilai siswa, untuk mata pelajaran yang tidak diajarkan tersebut.
3. Bongkar Pasang Kurikulum Sekolah
Efek domino dari kegagapan sekolah dalam menentukan core nya adalah dengan seringnya bongkar pasang kurikulum. Menurut Nana Syaodih, konsep kurikulum sebagai subtansi adalah suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bhan ajar, kegiatan belajar mengajar, jadwal, dan evaluasi.[2]
Ketika sedang tren Tahfidz Al-Qur’an maka dibuatlah kurikulum yang berhubungan dengan tahfidz, porsi jam pelajaran paling banyak untuk menghafal Al-Qur’an. Tak lama kemudian booming tentang pendidikan berbasis fitrah, maka kurikulum yang lama ditinggalkan dan mencoba kurikulum baru dengan pendidikan berbasis fitrah. Jam tahfidz dikurangi dan sebagian guru tahfidz dialihfungsikan menjadi guru karakter.
Bongkar pasang kurikulum ini sejatinya sangat merugikan siswa dan guru, karena harus mengubah pola dan beradaptasi dengan kurikulum baru, yang bisa jadi melenceng jauh dari kurikulum sebelumnya. Padahal pelaksanaan kurikulum sebelumnya pun seringnya masih dalam tahap uji coba.
4. Kurangnya Perencanaan yang Matang Dalam Pengembangan Sekolah dan SDM
Di antara hal yang menjadi problematika bagi sekolah “sunnah” adalah, tidak adanya perencanaan yang matang untuk pengembangan sekolah dan SDM yang ada di sekolah ke depannya. Fokus utama yang dipikirkan adalah bagaimana memiliki bangunan sekolah yang berdiri dengan gagah. Tanpa dibarengi berpikir apakah yang harus dilakukan sekolah selama 10 tahun nanti. Sehingga realita yang ada, sekolah bisa saja membuka jenjang pendidikan berikutnya, padahal jenjang yang sudah ada belum bisa berjalan dengan baik, dan belum terbukti lulusannya mampu bersaing dengan lulusan dari sekolah lainnya.
Begitu juga dalam permasalahan SDM, sekolah hanya mengandalkan lulusan yang sudah siap pakai saja. Padahal persaingan mendapatkan pengajar setiap waktu semakin ketat. Sekolah belum berpikir untuk membentuk kader dengan menyekolahkan lagi guru yang masih belum sesuai kualifikasi pendidikannya, atau membiayai alumni sekolah tersebut untuk melanjutkan jenjang pendidikannya, yang pada akhirnya nanti akan kembali ke sekolah tersebut.
5. Rapuhnya Kepemimpinan dan Manajerial Pemimpin Sekolah
Masih ada anggapan pada jama’ah kajian “sunnah” bahwa ustadz yang memiliki ilmu agama mumpuni, juga memiliki kemampuan memimpin dan manajerial yang baik. Sehingga ustadz yang ilmu agamanya bagus apalagi lulusan kampus Timur Tengah, didapuk untuk menduduki kursi pimpinan. Padahal pengetahuan agama tidak berbanding lurus dengan kemampuan memimpin dan manajerial. Sehingga yang terjadi adalah sekolah tidak berjalan semestinya karena pemimpinnya masih harus belajar dan minim pengalaman.
Ada pemimpin yang malah sibuk mengajar dibandingkan mengurus kemajuan sekolahnya. Ada juga yang tidak tahu bagaimana cara mengajak bawahan untuk mencapai tujuan sekolah. Termasuk fenomena gagalnya mengantisipasi dan menyelesaikan konflik internal lembaga, karena sekolah yang dibangun atas azas-azas di atas, biasanya minim pemeliharan terhadap organisasi. Tindakan yang ada ketika konflik hadir bukanlah perawatan dan pengobatan yang baik, melainkan dengan pembiaran dan seakan ada pengaburan terhadap masalah itu. Sehingga masalah yang ada akhirnya mengendap dan kemudian hari menimbulkan efek bola salju atau bom waktu yang dapat meledak dengan kasus yang lebih besar.
Menurut Malayu SP Hasibuan, manajemen adalah ilmu dan seni mengatur pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.[3] Sedangkan menurut Ramayulis, bahwa kepemimpinan adalah kegiatan pencapaian tujuan yang dilakukan oleh seorang yang bernama pemimpin dengan jalan menggunakan orang lain yang bernama pengikut.[4]
Oleh karena itu perlu diadakan pelatihan dan training kepemimpinan bagi pemimpin atau kepala sekolah agar bisa menjalankan laju lembaganya dengan baik. Bagi asosiasi maupun perkumpulan sekolah-sekolah “sunnah” agar menjadikan pelatihan dan training ini sebagai agenda wajib yang diikuti oleh sekolah anggota. Apabila dirasa perlu, bisa diadakan program magang di lembaga-lembaga pendidikan sunnah yang sudah seatlle.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggembosi semangat teman-teman yang merintis lembaga pendidikan, demi membangun peradaban Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Namun saya berharap hal ini dijadikan sebagai PR besar yang harus diselesaikan, demi kebaikan bersama.
Penulis: Djati Purnomo Sidhi, S.H, Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Islam IAIN Purwoketo
Footnote :
[1] Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 poin 11-13.
[2] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, (Bandung : Remaja Rosdakarya, cet. XXII, 2019), hlm. 27
[3] Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta : Bumi Aksara, Edisi Revisi, 2000), hlm. 1-2
[4] Ramayulis & Mulyadi, Manajemen & Kepemimpinan Pendidikan Islam(Jakarta : Kalam Mulia, cet. Pertama, 2017) hlm. 184