Fikroh.com - Komite Hijaz adalah sebuah kepanitiaan yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dibentuk pada tahun 1926. Tim ini bertugas untuk melakukan kunjungan resmi ke Raja Ibnu Saud di Arab Saudi dengan tujuan menyampaikan sejumlah permohonan penting.
Dalam persiapannya, Komite Hijaz menyusun mandat dan materi yang akan disampaikan langsung dalam forum Muktamar Dunia Islam. Risalah tersebut berisi berbagai usulan dan permohonan terkait kebijakan penguasa Arab yang dinilai berpotensi merugikan kelompok ahlussunah waljamaah.
Kelahiran Nahdlatul Ulama: Manifestasi Tradisi dan Perjuangan di Era Reformasi
Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada tahun 1926 di Surabaya, menandai sebuah bab penting dalam sejarah peradaban Islam di Indonesia. Kelahiran organisasi ini merupakan respons terhadap dinamika teologis dan politik, bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan ajaran Ahlusunnah wal Jama'ah (Aswaja) di Nusantara.
Pada tahun 1920-an, kaum reformis semakin aktif menyerang paham dan praktik keagamaan kaum tradisionalis. Dalam forum Sarekat Islam, Kiai Wahab Chasbullah terlibat debat dengan Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Achmad Soorkati, pendiri Al-Irsyad dari Sudan. Ketegangan semakin meningkat, terutama saat Kongres Al-Islam 1922 di Cirebon, di mana tuduhan “kafir” dan “syirik” diarahkan kepada kaum tradisionalis, menimbulkan kekhawatiran mendalam.
Meski Kiai Wahab mengusulkan pembentukan gerakan untuk mewakili para ulama tradisionalis, rencana tersebut tidak terealisasi karena ketidaksetujuan Kiai Hasyim Asy’ari. Ancaman terhadap keberadaan kaum tradisionalis semakin terasa setelah penghapusan kekhilafahan Turki Utsmani dan serangan Wahabi di Mekah, yang berpotensi membatasi tradisi keagamaan seperti ziarah ke makam Rasulullah SAW.
Dalam konteks tersebut, pada tahun 1926, Kiai Wahab kembali mengusulkan agar suara kaum tradisionalis diwakili dalam delegasi yang akan menyampaikan tuntutan mereka ke Mekah. Namun, usulan ini diabaikan oleh banyak kaum pembaharu yang mendukung pembersihan praktik keagamaan di Arab Saudi. Sebagai respons, kaum tradisionalis membentuk "Komite Hijaz" untuk menyuarakan kepentingan mereka kepada Raja Ibnu Saud.
Pada 31 Januari 1926, para ulama berkumpul dan mendirikan Nahdlatoel Oelama (NO), kini dikenal sebagai Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi yang mewakili Islam tradisionalis. Delegasi ini diberikan mandat untuk menyampaikan beberapa permintaan, antara lain kemerdekaan bermazhab, akses terhadap kitab-kitab Imam al-Ghazali dan Imam Sanusi, serta izin untuk ziarah ke makam Nabi.
Hasil pertemuan dengan Raja Ibnu Saud hanya memberikan jawaban positif pada permintaan kebebasan bermazhab, sementara tuntutan lainnya tidak mendapat perhatian. Sebagai tindak lanjut, NU mengadakan Muktamar perdana pada tahun 1928, di mana NU menegaskan posisinya sebagai penjaga tradisi, mempertahankan ajaran Aswaja, dan menanggapi kritik dari kaum reformis.
Kelahiran NU menjadi simbol upaya para ulama Aswaja Indonesia untuk menjembatani dua ekstrem dalam dunia Islam, melalui sikap tawazun dan tawassuth, serta mencari titik temu antar berbagai aliran pemikiran. Prinsip wasathiyyah yang diusung NU mencerminkan ajaran moderat dalam Islam, sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an untuk membangun “ummatan wasathan.”
Namun, hingga saat ini, masih terdapat prasangka ideologis dari kaum modernis dan neo-modernis terhadap NU sebagai pembela ortodoksi yang terancam oleh reformisme. NU tetap responsif terhadap wacana pembaharuan agama dan gerakan transnasional, serta politik identitas, dengan komitmen menjaga negara dan umat dari berbagai ancaman.
Dengan semangat menjaga harmoni dan keberagaman, NU terus berperan aktif dalam politik kebangsaan, memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan dan kontekstual di tengah dinamika zaman.
Kepiawaian Diplomasi Kiai Wahab
Dr. Arifi Saiman, mantan Konsul Jenderal RI di New York, dalam bukunya "Diplomasi Santri" (2022) mengungkapkan bahwa Komite Hijaz menunjukkan kemampuan lobi dan diplomasi yang mumpuni dari kalangan santri pada era pergerakan. Meskipun jawaban Raja Arab Saudi pada waktu itu mungkin tidak memuaskan, misi diplomasi yang dilakukan Komite Hijaz berjalan dengan penuh tanggung jawab, mengingat tantangan yang dihadapi berkaitan dengan nasib Muslim tradisionalis di seluruh dunia.
Kepemimpinan Kiai Wahab dalam proses ini tidak diragukan. Ia menjadi salah satu tokoh dengan kemampuan diplomasi yang menonjol di kalangan pesantren pada masa itu, menunjukkan peran penting NU dalam sejarah diplomasi Islam.
Tags:
Sejarah