Sunnah-Sunnah Nabi ﷺ Yang Terlupakan (1)

Sunnah-Sunnah Nabi ﷺ Yang Terlupakan (1)

Sunnah-Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam Yang Terlupakan.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut beberapa sunnah-sunnah Nabi shallallahu alaih wa sallam yang terlupakan yang kami terjemahkan dari risalah Sunan Mansiyah yang diterbitkan oleh Mibrah at Tawashul Al Khairiyyah dan kami berikan tambahan. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
 
{tocify} $title={Table of Contents}

Apa Itu Sunnah?


Sunnah secara etimologis (bahasa) berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Pengertian sunnah secara etimologis ini ditemukan dalam sabda Rasulullah saw. Yang berbunyi:

Barangsiapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya... (H.R. Muslim)

Sedangkan Sunnah secara terminologi, Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh, dan ushul fiqh. Sunnah menurut para ahli hadist identik identik dengan hadist, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah diangkat menjadi Rasul.”

Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah: ”segala yang diriwayatkan dari Nabi saw. Berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.”

Sedangkan Sunnah menurut para ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.”

Sunnah-Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam Yang Terlupakan

1. Sesekali berjalan kaki tanpa alas kaki


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَلَ إِلَى فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ وَهُوَ بِمِصْرَ، فَقَدِمَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: أَمَا إِنِّي لَمْ آتِكَ زَائِرًا، وَلَكِنِّي سَمِعْتُ أَنَا وَأَنْتَ حَدِيثًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجَوْتُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ مِنْهُ عِلْمٌ، قَالَ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: كَذَا وَكَذَا، قَالَ: فَمَا لِي أَرَاكَ شَعِثًا وَأَنْتَ أَمِيرُ الْأَرْضِ؟ قَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَانَا عَنْ كَثِيرٍ مِنَ الإِرْفَاهِ» ، قَالَ: فَمَا لِي لَا أَرَى عَلَيْكَ حِذَاءً؟ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا»

Dari Abdullah bin Buraidah ia berkata, “Seorang laki-laki dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berkunjung ke rumah Fadhalah bin Ubaid yang berada di Mesir, ia datang kepadanya dan berkata, “Sebenarnya aku datang bukan untuk berkunjung, akan tetapi aku dan engkau telah mendengar hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang aku harap engkau mempunyai ilmu tentang itu.” Sahabat itu berkata, “Hadits tentang apa itu?” Sahabat tersebut berkata, “Tentang ini dan itu.” Selanjutnya Fadhalah berkata, “Mengapa kulihat rambutmu tampak kusut padahal engkau seorang pemimpin?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kita bermewah-mewahan.” Fadhalah bertanya lagi, “Mengapa kulihat engkau tidak mengenakan sepatu?” Ia menjawab, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam sesekali memerintahkan kita untuk berjalan tanpa alas kaki.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)

2. Makan dengan tiga jari


عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ، وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا»

Dari putera Ka’ab bin Malik, dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam makan dengan tiga jari, dan menjilati tangannya sebelum mengusapnya.” (Hr. Muslim)

3. Mengusap muka setelah bangun tidur (untuk menghilangkan sisa-sisa tidur)


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَرَأَ العَشْرَ الآيَاتِ الخَوَاتِمَ مِنْ سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bangun tidur (di malam hari) lalu duduk dan menghilangkan sisa-sisa tidur dari wajahnya dengan tangannya (dengan mengusapnya), lalu membaca sepuluh ayat terakhir surah Ali Imran.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

4. Melakukan shalat taubat ketika terjatuh dalam dosa


عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا، فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ: {وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ} [آل عمران: 135] إِلَى آخِرِ الْآيَةِ

Dari Abu Bakar radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang melakukan dosa, lalu memperbagus wudhunya, kemudian berdiri shalat dua rakaat dan memohon ampunan kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuninya.” Kemudian Beliau membacakan ayat ini,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Qs. Ali Imran: 135)

(Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

5. Membaca doa kaffaratul majlis ketika bangkit dari majlis, seusai shalat (sunah), dan seusai membaca Al Qur’an


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَا جَلَسَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلَا تَلَا قُرْآنًا، وَلَا صَلَّى صَلَاةً إِلَّا خَتَمَ ذَلِكَ بِكَلِمَاتٍ قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ مَا تَجْلِسُ مَجْلِسًا، وَلَا تَتْلُو قُرْآنًا، وَلَا تُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا خَتَمْتَ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قَالَ: " نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْرًا خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرًّا كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ "

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah duduk di suatu majlis, tidak pula membaca Al Qur’an, dan melakukan suatu shalat kecuali menutup dengan kalimat ini, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat dirimu tidak duduk di suatu majlis, membaca Al Qur’an, atau melakukan shalat melainkan engkau tutup dengan kalimat itu?” Beliau menjawab, “Ya. Barang siapa yang sebelumnya mengucapkan kebaikan, maka akan dicap dengan kebaikan itu, dan barang siapa yang sebelumnya mengucapkan keburukan, maka kalimat itu akan menjadi penebusnya, yakni, “Subhaanaka wabihamdika Laailaahaillaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik.” (artinya: Mahasuci Engkau ya Allah sambil memuji-Mu. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (As Sunanul Kubra no. 10067 9/123)

6. Berdoa setelah shalat Dhuha


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الضُحى ثُم قَال: (اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وتُب عَلي إنَّك أَنت التَّوابُ الرَّحيم) حَتَّى قَالها مَائة مَرة.

Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha, setelah itu berdoa,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ إنَِّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Beliau mengucapkannya hingga seratus kali. (Hr. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dan dishahihkan oleh Al Albani)

7. Menutup bejana dan mengikat geriba (wadah minum dari kulit)


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «غَطُّوا الْإِنَاءَ، وَأَوْكُوا السِّقَاءَ، فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا وَبَاءٌ، لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ، أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ، إِلَّا نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ»

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tutuplah bejana dan ikatlah geriba, karena dalam setahun ada suatu malam yang wabah turun di malam itu, dimana ketika wabah turun, maka akan masuk ke dalam bejana yang tidak ada penutup dan geriba yang tidak diikat.” (Hr. Muslim)

8. Menahan anak-anak di waktu senja (Maghrib)


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ - أَوْ أَمْسَيْتُمْ - فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ فَخَلُّوهُمْ، وَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ»

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila waktu malam telah tiba atau kalian memasuki waktu senja, maka tahanlah anak-anak kalian, karena ketika itu setan bertebaran. Tetapi apabila malam telah berlalu sebagian, maka lepaslah mereka. Tutuplah pintu dan sebutlah nama Allah, karena setan tidak akan membuka pintu yang tertutup. Ikatlah geriba kalian dan sebutlah nama Allah, serta tutupilah bejana kalian dan sebutlah nama Allah, meskipun untuk menutupnya dengan membentangkan sesuatu di atasnya, dan padamkanlah lampu-lampu kalian.” (Hr. Muslim)

9. Bersiwak


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ»

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau bukan karena aku khawatir memberatkan umatku atau memberatkan manusia, tentu aku suruh mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Siwak sangat dianjurkan ketika wudhu, bangun dari tidur, ketika bau mulut berubah, ketika membaca Al Qur’an, dan ketika akan shalat. Demikian pula ketika akan masuk masjid dan masuk rumah. Hal ini berdasarkan hadits Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah, “Dengan apa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memulai ketika masuk ke rumahnya?” Ia menjawab, “Dengan bersiwak.” (Hr. Muslim)

10. Meminta izin tiga kali ketika hendak masuk ke rumah orang lain


عَنْ أَبِي مُوْسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «الِاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ، وَإِلَّا فَارْجِعْ»

Dari Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Meminta izin itu tiga kali. Jika diizinkan bagimu untuk masuk (silahkan masuk). Jika tidak, maka pulanglah.” (Hr. Muslim)

11. Tidak duduk di pertengahan antara bayang-bayang dan sinar matahari


عَنْ أَبَِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الشَّمْسِ -وَقَالَ مَخْلَدٌ- فِي الْفَيْءِ فَقَلَصَ عَنْهُ الظِّلُّ وَصَارَ بَعْضُهُ فِي الشَّمْسِ وَبَعْضُهُ فِي الظِّلِّ فَلْيَقُمْ

Dari Abu Hurairah ia berkata, “Abul Qaasim (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu berada di bawah sinar matahari –perawi yang bernama makhlad- mengatakan “di bawah bayang-bayang,” lalu bayang-bayang tersebut bergeser darinya sehingga separuh badannya terkena sinar matahari, sedangkan separuhnya lagi di bawah bayang-bayang, maka bangunlah.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani).

عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُجْلَسَ بَيْنَ الضِّحِّ وَالظِّلِّ وَقَالَ مَجْلِسُ الشَّيْطَانِ

Dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk antara sinar matahari dan bayang-bayang. Beliau bersabda, “(Itu adalah) majlis setan.” (Hr. Ahmad. Syu’aib Al Arnauth berkata, “Hadits shahih, dan isnadnya hasan, para perawinya adalah tsiqah; para perawi Bukhari-Muslim selain Katsir bin Katsir, ia adalah Al Bashriy". Al Hafizh menyatakan maqbul (diterima)).

12. Jika seseorang berhadats, maka dianjurkan memegang hidungnya, setelah itu ia keluar dari barisan


عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ، ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ»

Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu berhadats dalam shalatnya, maka hendaknya ia pegang hidungnya lalu keluar.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)

Hikmahnya adalah agar ia tidak merasa malu keluar dari barisan.

13. Jangan tanya makanan atau minuman yang disajikan saudaranya apakah dari harta halal atau haram


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا دَخَلَ اَحَدُكُمْ عَلَى اَخِيْهِ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَهُ طَعَامًا فَلْيَأْكُلْ مِنْ طَعَامِهِ وَلاَ يَسْأَلْ عَنْهُ فَإِنْ سَقَاهُ شَرَابًا مِنْ شَرَابِهِ فَلْيَشْرَبْ وَلاَ يَسْأَلْ عَنْهُ

Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu menemui saudaranya yang muslim, lalu saudaranya menghidangkan makanan, maka makanlah dan jangan bertanya tentang (makanan) itu. Demikian juga apabila saudaranya menghidangkan minuman, maka minumlah dan jangan bertanya tentang (minuman) itu.” (HR. Ahmad, Hakim, dan Al Khathib, dan Dailami, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahiihah no. 627)

Wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Baca juga:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama